pengarang : Sultan Takdir Alisyahbana
tahun : 1937
Tuti adalah putri sulung Raden Wiraatmadja. ia dekenal sebabai seorang gadis yang berpendirian teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam, sangat berbeda dengan adiknya Maria. ia seorang gadis yang lincah dan periang.
suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. ketika mereka sedang asyik melihat-lihat aquarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. pemuda itu bernama Yusuf, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. ayahnya adalah Deman Munaf, tinggal di Martapura, Sumatera Selatan.
perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang. bagi Yusuf, pertemuan itu berkesan dan cukup mendalam. ia selalu teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebig banyak tertumpah. menurutnya, wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.
esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun kemudian dengan senang hati, menemani keduanya berjalan-jalan. cukup hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.
sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung kerap. sementara itu, Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibuki dengan kegiatannya. dalam Kongres Putri Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan emansipasi wanita; suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti uyntuk memajukan kaumnya.
pada masa liburan, Yusuf pulang kerumah orang tuanya di Martapura. sesungguhnya, ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keinndahan alam tanah leluhurnya. namun, ternyata, ia tidak dapat menghilangkan rasa rindunya pada Maria. dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. berikutnya, surat Maria datang lagi. kali ini mengabarkan perihal perjalanannya bersama Rukmanah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudisn menyusul sang kekasih ke Bandung. setelah mendapat restu ibunya, pemuda itupun segera meinggalkan Martapura.
kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. kedua sejoli itu pun lalu melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan disekitar air terjun di Dago. dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya pada Maria.
sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. sungguhpun demikian, pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.
ketika Maria mendadak terkena demam Malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal keinginannya untuk menjalin cinta dengannya. sungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan kasih sayang seseorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. maka, segera ia menulis surat penolakan.
sementara itu. keadaan Maria semakin bertambah parah. kemudian diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. ternyata, menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC. dokter yang merawatnya menyarankian agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat.
perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. namuan, keadaannya tidak juga mengalami perubahan. lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. tampaknya, ia sudah pasrah menerima kenyataan.
pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kegidupan di pedesaan. kehidupan suami-istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat disekitanya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. ia menyadari bahwa kehidupan mulia; mengabdi kepada masyarakat’ tidak hanay dapat dilakukan di kola atau kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat manapun, pengabdian itu dapat dilakukan.
sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirka. dokter yang merawatnya pun rupanya sudak tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. kemudian, setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria menghembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah bahagianya saya di akhirat nanti, akialu saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya beberapa hari ini… inilah permintaan saya yang penghabisan, dan saya tidak rela selama-lamanya, kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain”. demikianlah pesar terakhir almarhum, Maria. lalu, sesuai dengan pesan tersebut, Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.